Notification

×

Iklan

Iklan

Mengaku Hormati Masyarakat Adat, Tapi PT TPL Kerap Kriminalisasi Warga

25 Mei 2021 | 11:04 WIB Last Updated 2021-05-25T04:04:36Z

Masyarakat adat yang berupaya mempertahankan wilayah adatnya terus berlangsung

SIMALUNGUN, GREENBERITA.com - Sejak PT Toba Pulp Lestari (TPL) dahulu bernama PT Inti Indorayon Utama, hadir di Tano Batak, Sumatera Utara, tahun 1983,  tindakan kekerasan, kriminalisasi, intimidasi yang dilakukan terhadap masyarakat adat yang berupaya mempertahankan wilayah adatnya terus berlangsung.



Bentrokan baru saja terjadi di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, pekan lalu, Selasa 18 Mei 2021. 



Sebanyak 12 orang warga masyarakat mengalmi luka-luka dan berdarah-darah akibat tindak kekerasan oleh pihak pekerja PT TPL. Adapun dari pihak pekerja, dua orang luka-luka.


Sejak tahun 2013 hingga saat ini, sudah ada 50 orang masyarakat adat dari komunitas adat yang mengalami kriminalisasi oleh PT TPL yang tersebar di kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba Samosir, dan Simalungun.


Pernyataan itu disampaikan Direktur KSPPM Delima Silalahi dan AMAN Tano Batak pada rilis yang diterima greenberita pada Selasa, 25 Mei 2021.


"Puluhan warga yang menjadi korban kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi tersebut, selain 12 orang dari Natumingkan, terdapat lima warga anggota Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamtang Sidamanik, Kabupaten Simalungun," ujar Delima Silalahi.


Dua orang anggota Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun.

Lalu, lima orang masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak di Desa Sabungan Ni Huta II Kecamatan Sipahutar Kabupaten, Tapanuli Utara. Lima orang Masyarakat Adat Huta Tornauli, Dusun Tornauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara. Dan 16 orang warga wilayah tombak haminjon (hutan kemenyan) di Dolok Ginjang, Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan.


Menurut catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Parapat, sudah terdaftar dan terverifikasi 25 komunitas masyarakat adat di Kawasan Danau Toba.

 

Berikut ini data-data masyarakat yang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi PT TPL/PT IIU (Inti Indorayon Utama) di Sumatera Utara:


1. Komunitas adat Huta Natumingka Pomparan Ompu Punduraham Simanjuntak

Karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL) bentrok kontrak komunitas Ompu Punduraham Simanjuntak Huta Natumingka terkait lahan di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatra Utara, Selasa (18/5/2021).


Bentrokan dipicu rencana pihak PT TPL menanam eukaliptus di atas tanah adat masyarakat Natumingka. Akibat bentrokan, masyarakat mengalami luka-luka dan pendarahan. Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak, mengatakan terdapat 12 orang korban luka. Seorang di antaranya Jusman Simanjuntak, kakek usia 75 tahun. Jusman mengalami luka di bagian wajah dan dilarikan ke Puskesmas. Direktur PT Toba Pulp Lestari Tbk Jandres Silalahi mengonfirmasi kejadian. Menurutnya, dua pekerja TPL terluka.

 

Warga yang mengalami luka-luka adalah Jusman Simanjuntak (76 tahun, Ompu Leo), Jepri Tambunan (34 tahun), Swardi Simanjuntak (28 tahun), Ricard Simanjuntak (21 tahun), Samson Hutagaol (34 tahun), Hasiholan Hutapea (38 tahun), Hisar Simanjuntak (56 tahun), Setio Minar Simanjuntak (56 tahun), Tiurlan Sianipar (45 tahun), Nursita Simanjuntak (35 tahun), Sabar Sitorus dan Agustin simamora (26 Tahun).


Awal tahun ini, tepatnya Januari 2021, pihak PT TPL  melaporkan 3 orang masyarakat adat huta Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba dengan tuduhan, perusakan tanaman milik PT TPL. Mereka atas nama Anggiat Simanjuntak, Pirman Simanjuntak, dan Risna Sitohang. Polres Toba menetapkan merak tersangka.


Alasan penetapan tersangka oleh Polisi, karena ketiga warga itu dituduh melakukan dugaan tindak pidana pengrusakan di lahan yang diklaim PT TPL.

 

 

2. Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras)

Pada 17 September 2019 tindakan kekerasan dialami masyarakat adat Sihaporas, Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Saat itu, warga anggota Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) melakukan aktivitas bertani di wilayah adat mereka.

Saat kejadian itu Thomson Ambarita dan Mario Teguh Ambarita (anak usia 3 tahun 6 bulan) menjadi korban dari tindakan kekerasan oleh Bahara Sibuea (Humas Sektor Aek Nauli) dan security PT TPL. Thomson menjabat Bendara Umum Lamtoras dan Sekretaris Umum Lamtoras Jonny Ambarita, dituntut ke muka hukum. Keduanya mednapat vonis 9 bulan tahanan. Adapun Humas TPL Bahara Sibuea, sampai Mei 2021 berstatus tersangka, namun tidak pernah ditahan polisi. Proses persidangan pun belum mulai.


Sejak 2002, pihak TPL telah mengkriminalisasi lima warga Sihaparoas. Selain Thompson dan Jonny, tahun 2002 polisi menangkap Arisman Ambarita. Lalu pada 6 September 2004 pukul 16.00 WIB, personel Brimob Polri Bersama sekurity PT TPL mencokok dua warga, yait Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita. Keduanya juga merasakan persidangan dan divonis bersalah.

 

3. Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan

Oktober 2019, PT TPL menurunkan kepolisian dengan membawa senjata dan aparat TNI mengintimidasi Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun. Saat itu, warga mereka melakukan aktivitas bertani di wilayah adat. Setelah itu pihak PT TPL melaporkan 2 orang masyarakat atas nama Hasudungan Siallagan,dan Sorbatua Siallagan dengan tuduhan melakukan akrtivitas menduduki hutan negara.

 

4. Masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak Sipahutar

PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) diduga melakukan kriminalisasi terhadap warga masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak di Desa Sabungan Ni Huta II Kecamatan Sipahutar Kabupaten, Tapanuli Utara (Taput), Sumut. Lima warga dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penggunaan kawasan hutan negara. Ke-5 warga dimaksud dilaporkan pada 15 Desember 2020, adalah warga Masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur, yakni Dapot Simanjuntak, Maruli Simanjuntak, Pariang Simanjuntak, Sudirman Simanjuntak, dan Rinto Simanjuntak.


PT TPL melaporkan kelima warga ke polisi dengan tuduhan sangkaan penggunaan kawasan hutan negara. Padahal, kelima warga dan Masyarakat Adat Keturunan Ompung Ronggur lainnya hanya mengusahai wilayah adat titipan leluhurnya dengan aktivitas bertani.

 

5. Masyarakat Adat Tor Nauli Parmonangan

Juni 2020, pihak PT TPL melaporkan 5 orang Masyarakat Adat Huta Tornauli yang berada di Dusun Tornauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara. Mereka adalah Buhari Job Manalu, Manaek Manalu, Nagori Manalu, Damanti Manalu, Ranto Dayan Manalu dengan tuduhan perkebunan tanpa izin di Kawasan Hutan.

 

6. Masyarakat Adat  Pandumaan Sipituhuta Humbang Hasundutan

Pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL) menanam kayu putih (eucalyptus) di wilayah tombak haminjon (hutan kemenyan) di Dolok Ginjang, Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Sumut), Senin 25 Februari 2013. Padahal sesuai kesepakatan, harus ‘gencatan senjata’, tidak ada aktivitas.


Warga protes hingga terjadi bentrok dengan massa karyawan TPL. Brimob Polri yang menjaga perusahaan  menangkapi 31 warga, 16 orang ditetapkan tersangka, 15 dibebaskan. Terjadilah bentrok, dan ditandai penangkapan. 16 Warga yang ditangkap dari Desa Sipituhuta adalah, Hanup Marbun (37 tahun), Leo Marbun(40), Onri Marbun (35), Jusman Sinambela (50), Jaman Lumban Batu (40), Roy Marbun (35), Fernando Lumbangaol (30), Filter Lumban Batu (45), Daud Marbun (35). Dari Desa Pandumaan Elister Lumbangaol (45) Janser Lumbangaol (35) Poster Pasaribu (32), Madilaham Lumbangaol (32) Tumpal Pandiangan (40).


Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirya mengakui dan menyerahkan Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat kepada 9 Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang tersebar di sejumlah daerah di tanah air, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/12/2016). Satu di antaranya, Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta seluas 5.172 Ha. Sayang sekali, realisasinya berkurang menjadi hanya 2.393 hektare, pada Januari 2021.

 

Atas kejadian tindak kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi PT TPL kepada masyakat. Masyarakat adat Tano Batak tidak mengenal cara-cara kekerasan menyelesaikan masalah. Karena seluruh masyarakat adat akan melakukan musyawarah mufakat bersama penatua kampung dalam memecahkan suatu permasalahan, tidak dengan tindakan anarkis seperti yg dilakukan PT TPL kepada masyarakat adat Natumingka, dengan mempersiapkan satpam atau karyawan menggunakan benda tajam seperti kayu runcing (alat tanam) bahkan ada karyawan PT TPL yang membawa samurai (ada videonya) dan lemparan batu, bahkan polisi yang berada di tempat kejadian menjadi penonton, seolah mengizinkan kejadian itu berlangsung tak berdaya dengan alat-alat yang digunakan PT TPL untuk melakukan kekerasan kepada masyarakat. Akan tetapi sejauh ini PT TPL sering sekali melakukan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.

Tidak jeranya PT TPL melakukan kekerasan, intimidasi dan bentuk kekerasan lainnya ialah bukti lemahnya hukum untuk mendindak perusahaan.

 

Terkait kejadian di Desa natumingka, menurut keterangan Kepala Desa Natumingka Kastro Simanjuntak, bahwa tidak pernah pihak PT TPL melakukan sosialisasi terkait rencana penanaman kayu eucalyptus. Butkinya, Maret 2020, kepala desa beserta 8 orang masyarakat pergi menemui pihak PT TPL di kantor Sektor Habinsaran.


Dalam kunjungan tersebut Kepala Desa Natumingka beserta masyarakat menyampaikan supaya menghentikan penanaman menunggu penyelesaian hukum, serta mencari solusi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.


Pertimbangnan lain, jika pihak PT TPL menarik karyawannya tentu di awal sudah seharusnya ditarik, namun realita di lapangan security dan pekerja memaksa mendorong barisan warga serta melempar warga terlebih dahulu sehingga mengakibatkan 12 warga luka-luka. (Gb-ferndt01)