Notification

×

Iklan

Iklan

Belajar Dari Desa Sekapuk Gersik Dari Termiskin Jadi Milyader

12 Apr 2021 | 10:58 WIB Last Updated 2021-04-12T04:01:36Z

Salah satu objek wisata Desa Sekapuk yang berhasil di kembangkan desa milyader ini

GREENBERITA.com
- 
Sekapuk adalah sebuah desa di Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, provinsi Jawa Timur mampu meningkatkan ekonomi desanya dengan menyulap bekas galian kapur menjadi kawasan wisata. Investornya warga desa sendiri. Dari usaha wisata itu pemasukan desa pelan-pelan meningkat.


Pada 2018 Pendapatan Asli Desa (PADes) Desa Sekapuk kisaran Rp575,7 juta. Kemudian naik pada 2019 menjadi Rp929 juta dan hingga Oktober 2020 mencapai Rp1,4 miliar. PADes itu menyumbang 68 persen keuangan desa. Selebihnya dana Bagi Hasil Pajak (BHP) 3 persen, Alokasi Dana Desa (ADD) 7 persen dan Dana Desa (DD) sebesar 22 persen.


Tak ada yang mengira Pendapatan Asli Desa Sekapuk di Kabupaten Gresik bakal sebanyak itu. Dulu desa itu dikenal kumuh. Langganan banjir saban tahun dan dipandang sebelah mata.

Dengan PAD yang terus meningkat, selain untuk operasional dan pengembangan usaha, pendapatan desa itu dikonversi menjadi fasilitas kendaraan dinas aparatur desa. Mobil dinas kepala desanya Toyota Alphard, kendaraan dinas BUMDes jenis Xpander, dan untuk PKK dibelikan Nissan matic.


Jenggot tebal pria itu menjuntai hingga ke dada. Perawakannya kurus, dengan pipi yang sedikit tirus. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang, seperti pendekar dalam film-film kolosal babad tanah Jawa. Intonasi suaranya terdengar mantap saat dia berbicara. Sesekali bahkan terdengar meledak-ledak penuh semangat, meski tak jarang berubah lembut. 


Penampilannya jauh dari bayangan orang-orang tentang sosok kepala desa. Biasanya orang membayangkan kepala desa berpenampilan rapi dengan rambut klimis dan berpembawaan tenang. 


Sosok Abdul Hamid, Kepala Desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, memang tampak unik dan berbeda dari kepala desa kebanyakan. Hanya seragam ASN dengan logo Korpri pada dada kirinya yang menunjukkan bahwa dia seorang abdi negara. 



Penampilannya yang unik seolah mencerminkan cara berpikirnya yang tak kalah unik, bahkan sebagian orang menganggap cara berpikirnya sedikit tidak masuk akal.Pola pikir dan tindakannya sejak menjabat sebagai kepala desa, yang menurut sebagian orang sedikit “gila”, mampu membuat desa yang dipimpinnya berubah drastis. Setidaknya status desa tertinggal pada tahun 2018 mampu dikereknya menjadi desa berkembang, kemudian menjadi desa maju, dan terakhir menjadi desa mandiri.


Bukan hanya meningkatkan status desanya menjadi desa mandiri, Abdul Halim yang menjabat sejak Desember 2017 ini juga meningkatkan pendapatan asli desa (PADes) hingga sebesar Rp 4 miliar per tahun, PKK pun menghasilkan Rp 1,9 miliar per tahun, dengan rincian Rp 160 juta per bulan. Desanya pun viral dengan sebutan desa miliarder.


Halim mengisahkan perjalanannya mengubah kondisi desa dan perekonomian warga. Pada awal menjabat, pendapatan miliaran rupiah adalah mimpi yang sangat sulit diwujudkan.“Jadi ketika kami (desa) tertinggal, saat itu, semua seolah mimpi bahwa kita bisa meraih Rp 1,2 miliar dari Bumdes. Nah, terkait dengan desa miliarder, Alhamdulillah sekarang ini desa kami memiliki penghasilan yang luar biasa. 


Desa kami bisa berkembang pesat mulai dari tiga tahun itu mulai dari PKK, kemudian dari bumdesnya (badan usaha milik desa), semua di atas satu miliar,” kata Halim.PKK, lanjut dia, berpotensi memutar uang senilai Rp 1,9 miliar dari kebangkitan saat pandemi. 


PKK mengoordinir perempuan Desa Sekapuk untuk mengolah makanan makanan lokal, kemudian dijual di area wisata di desa mereka, yang dikelola oleh Bumdes“Makanan leluhur tanpa pengawet itu dijadikan camilan, dijadikan jajanan yang bisa dijual. Terus dijual di mana? Salah satu dari usaha bumdes, yaitu pariwisata. Desa kami punya wisata juga masih baru. 


Baru kita launching di tanggal 1 Januari 2020, kita buka 2,5 bulan tapi tutup karena pandemi selama 3 bulan, dan kemudian kita buka lagi,” ucapnya.Bumdes yang menghasilkan Rp 4 miliar per tahun tersebut, kemudian menyetor 40% dari penghasilannya pada pemerintah desa untuk peningkatan PADes. 


Untuk tahun ini, setoran dari Bumdes pada desa sebesar Rp 1.517.000.000.Meski mampu meningkatkan predikat dari desa tertinggal menjadi desa mandiri, Abdul Halim mengaku kurang sreg dengan predikat desa mandiri. Sebab menurutnya desanya sejak lama sudah mandiri. Bahkan untuk mengelola bekas tempat pembuangan sampah menjadi destinasi wisata pun tanpa bantuan pemerintah daerah setempat.


“Apalagi terkait wisata Selo Tirto Giri, ini kan kami tidak pernah merasakan suntikan dana dari pemerintah untuk wisata itu,” kata Abdul Halim rilis tagar.id


Kalaupun ada warga yang masih menganggur, Abdul Halim mengatakan, itu merupakan pilihan mereka sendiri. Sebab seluruh warga sudah ditawari untuk bekerja.“Kalau ada satu atau dua orang yang tidak bekerja, itu pilihan mereka karena ditawari gaji Rp 2 juta mereka (merasa) kurang, mungkin bisa mencari yang lain karena bicara peluang masih banyak. Kalau mereka mau jadi pengusaha aksesoris, bisa, silakan. 


Yang jelas desa ini masih membuka, bahkan kemarin kita nambah lagi tujuh. Mereka yang sudah kerja di perusahaan, mereka resign dan memilih bekerja di sektor wisata.


”Abdul Halim juga menjelaskan, faktor lain yang menyebabkan desanya mampu meningkatkan status desa tertinggal menjadi mandiri adalah seluruh rumah tangga di desa itu sudah memiliki jamban sendiri.dulunya, saat awal dia menjabat, masih ada sebagian warga yang buang air besar sembarangan. Sebanyak 27 rumah tangga di desa itu tidak memiliki jamban.


Selain itu, ada dua daerah di wilayahnya yang rutin terkena wabah demam berdarah saat musim hujan tiba.“Setiap tahun ada warga saya kena demam berdarah dan meninggal. Alhamdulillah sudah tidak ada lagi dalam 3 tahun terakhir. Dulu ada warga saya yang kena kusta. 


Sekarang ini ada program Sekapuk Bebas Kusta. Harus bersih, sehat dan dikawal, jangan dijauhi yang kena penyakit itu karena ini bukan pillihan mereka,” kata dia.Hingga tahun 2018, ada lokasi di Desa Sekapuk yang menjadi langganan banjir. Saat itu Indeks Desa Mandiri Desa Sekapuk hanya 0,44% atau masuk kategori desa tertinggal. Namun setelah semua inovasi yang dilakukan, pada tahun 2019 ada peningkatan menjadi desa maju, IDMnya menjadi 0,75%.

 “Sekarang ini sudah 0,88%, jadi desa mandiri.”

(gb-rizal/rel)