Notification

×

Iklan

Iklan

Jurnalisnya Disekap dan Dikeroyok, Media Tempo Minta Kapolda Jatim Tangkap Pelaku

28 Mar 2021 | 16:35 WIB Last Updated 2021-03-28T09:35:38Z

Sejumlah jurnalis mendampingi Nurhadi melapor ke SPKT Polda Jatim

GREENBERITA.com || 
Seorang jurnalis Media Tempo yang sedang ditugaskan melakukan peliputan di Gedung Samudra Morokembang disekap dan dikeroyok.


Padahal Jurnalis Tempo bernama Hadi ini hendak meminta konfirmasi kepada mantan Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu Angin Prayitno Aji terkait kasus suap yang sedang dialaminya dan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sudah ditetapkan sebagai tersangka.


Tempo mengutuk aksi kekerasan jurnalis tersebut dan menuntut semua pelakunya diadili serta dijatuhi hukuman sesuai hukum yang berlaku. Karena peristiwa penganiayaan yang dialami jurnalis Tempo, Nurhadi, pada Sabtu, 27 Maret 2021 itu merupakan serangan terhadap kebebasan pers dan melanggar KUHP serta Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.


"Kekerasan yang menimpa Nurhadi terjadi ketika dia menjalankan penugasan dari redaksi Majalah Tempo," ujar Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika dalam siaran pers yang diterima Greenberita pada Minggu 28 Maret 2021.


Penganiayaan terjadi, kata Wahyu, saat sejumlah pengawal Angin menuduh Nurhadi masuk tanpa izin ke acara resepsi pernikahan anak Angin di Gedung Graha Samudera Bumimoro (GSB) di kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan laut (Kodiklatal) Surabaya.


Meski sudah menjelaskan statusnya sebagai jurnalis Tempo yang sedang menjalankan tugas jurnalistik, mereka tetap merampas telepon genggam Nurhadi dan memaksa untuk memeriksa isinya. Nurhadi juga ditampar, dipiting, dipukul di beberapa bagian tubuhnya.


"Untuk memastikan Nurhadi tidak melaporkan hasil reportasenya, dia juga ditahan selama dua jam di sebuah hotel di Surabaya," kata Wahyu.


Tempo menilai kekerasan ini merupakan tindak pidana yang melanggar setidaknya dua aturan yakni pasal 170 KUHP mengenai penggunaan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang, dan pasal 18 ayat 1 UU Pers tentang tindakan yang menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik. Ancaman hukuman untuk pelanggaran ini adalah seberat-beratnya lima tahun enam bulan penjara.


Atas peristiwa ini, redaksi Tempo menyatakan sikap sebagai berikut:


1. Meminta Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta menindaklanjuti kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo dan memeriksa semua anggotanya yang terlibat. Setelah semua berkas penyidikan lengkap, Tempo menuntut pelakunya dibawa ke meja hijau untuk menerima hukuman yang setimpal sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.


2. Meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memerintahkan jajarannya di Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri untuk memproses pelaku secara disiplin profesi dan memastikan kasus ini merupakan aksi kekerasan terakhir yang dilakukan polisi terhadap jurnalis.


3. Memohon bantuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Dewan Pers, untuk melindungi korban dari ancaman kekerasan lebih lanjut dan mengawal proses hukum atas kasus ini.


4. Mengimbau semua pihak untuk menghormati kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi oleh UU Pers, demi terjaminnya hak publik untuk tahu dan mendapatkan informasi yang akurat mengenai isu-isu yang penting bagi orang banyak.


Berikut adalah penjelasan resmi Nurhadi, Jurnalis Tempo yang mengalami tindak kekerasan tersebut:


Setiba saya di gedung, ternyata tidak bisa bebas keluar masuk karena harus men-scan undangan. Saya balik ke parkiran. Lalu Fahmi, yang memang saya ajak untuk menemani dari awal, memberi tahu jika pintu samping kosong.


Kami masuk dari pintu samping. Saat di dalam, saya dua kali memfoto pelaminan. Saya hanya ingin memastikan Angin yang berada di sisi kiri mempelai atau kanan. Angin berbesan dengan Kombes Ahmad Yani, mantan Karo Perencanaan Polda Jatim.


Ternyata di depan dekat pintu utama ada keterangan hadirin tidak boleh memfoto. Otomatis apa yang saya lakukan tadi menjadi perhatian panitia berseragam batik (yang diduga para polisi, red). 


Di dalam gedung itu juga ada banyak ajudan Angin yang memakai baju batik seragam. Saya baru tahu belakangan bahwa dia ajudan Angin.


Ada seseorang berseragam batik berkepala botak yang diam-diam memfoto saya. Saya sempat mendekat ke dia untuk memfoto balik. Jaga-jaga kalau ada apa-apa. Foto itu saya kirim ke Linda, sekitar pukul 19.54.


Saya kemudian jalan memutar sampai ke pintu samping tempat saya masuk tadi. Saat di sana, saya didekati laki-laki berseragam batik. 


Dia bertanya, saya tamunya siapa? saya jawab tamunya mempelai perempuan.


Keluarga mempelai perempuan didatangkan ke tempat saya berdiri dan menyatakan tidak kenal dengan saya. 


Setelah itu, saya dibawa ke belakang, didorong oleh ajudan Angin. Dibentak. HP saya diambil, dipegang keluarga mempelai cewek. 


Saya dibawa keluar oleh anggota TNI yang bertugas jaga di luar. Saya kemudian dimasukkan ke mobil patroli dan dibawa ke pos mereka. Di sana tak lama. Saya ditanya identitas secara baik-baik. Mereka tidak ada yang memukul.


Ada telepon masuk ke petugas di pos, saya disuruh bawa ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak. Saat di tengah perjalanan menuju Polres Tanjung Perak, ada telepon masuk bahwa saya dibawa balik ke tempat acara saja. 


Saya diturunkan di belakang Gedung Samudra Morokembang, dekat musala. Di situ sudah ramai orang. Ada ajudan Angin, polisi, sampai puluhan. 


Baru turun dari mobil sudah dipukul, dikiting, ditampar. Yang paling kejam si ajudan Angin. Bahkan dia sampai bilang, mau pilih UGD atau kuburan. 


Di situ juga ada menantu Angin atau Ahmad Yani, polisi juga, memberi uang sekitar Rp 600 ribu.


Saya menolak. Sebagai balasan, saya ditampar dan ditendang lagi. Dia memaksa saya memegang uang itu lalu difoto-foto.


Ajudan Angin juga bilang, “Tempo itu kemarin foto-foto rumah Pak Angin. Kami mau kubawa ke Jakarta? Nggak bakalan lihat matahari besok pagi.”


Ajudan Angin lalu memukul perut, dada, menggampat kuping. Tiap dia bertanya, saya belum menjawab, dia langsung main tampar. Saya disuruh menengadah. Saya sempat salah buka password HP, juga langsung ditampar, jotos. 


 Dia juga memaksa membuka HP dan email saya. Kalau nggak mau, ditampar. Mereka merestart HP saya. Semua data-data saya hilang.


Para anak asuh Kombes Ahmad Yani juga mengerubungi. Mereka bertanya, dikiranya Tempo mau menulis soal resepsi. Padahal sudah berulang kali saya jelaskan bahwa kami hanya ingin konfirmasi ke Angin terkait kasus korupsi. 


Mereka juga bilang, “kamu ngapain cengar-cengir? Nggak merasa bersalah sama sekali?”


Kejadian penyiksaan ini berlangsung sekitar dua jam. Orang-orang itu tiap bertanya, sambil menampar dan menjotos saya. Saya diperlakukan seperti maling. Bahkan lebih buruk.


Acara resepsi selesai. Semua ajudan Angin ikut balik ke Jakarta pada malam ini juga. Saya kemudian diserahkan ke anak asuh Kombes Ahmad Yani, Pak Purwanto dan Firman. Mereka juga tadinya ikut menjotos saya. Keduanya mengaku anggota Binmas Polda Jatim. 


Saya dan Fahmi dibawa Pak Pur dan Firman ke Hotel Arcadia, seberang JMP. Di sana obrolan mulai cair.  Oiya, Fahmi tidak diapa-apakan karena sedari awal saya bilang Fahmi nggak diapa-apain.


“Mau dibawa ke mana Mas? Pelabuhan Tanjung Perak atau ke mana?” tanya keduanya.


Kami ngobrol-ngobrol. Dia bilang, “Mas tanggung jawabku.” 


Saat di hotel, saya kembali menyampaikan saya tidak bisa menerima uang itu. Kalaupun saya bawa, nanti akan dikembalikan oleh redaktur entah bagaimana caranya. Pur dan Firman sempat emosi.


“Sudahlah bawa saja. Ini sebagai pengganti HP rusak.” Dan omongan lainnya. 


Kami ngobrol di hotel sekitar satu jam. Mereka butuh jaminan bahwa foto tidak akan keluar. Saya memastikan itu berkali-kali. Mereka koordinasi langsung dengan Ahmad Yani. Segala omongan direkam dan dikirim ke Ahmad Yani. Bahkan saat saya menelepon Linda atau Moses menggunakan HP Fahmi juga mereka rekam dan dikirim ke Ahmad Yani. 


Mereka juga meminta ini dianggap aja selesai dan mengantar sampai rumah. Kalau tidak mau diantar, mereka mengancam akan menjerat saya dengan UU ITE.  


“Nggak enak karo sampeyan Mas,” kata Pak Pur dan Firman.


Saya kemudian tiba di rumah sekitar pukul 01.00, diantar mereka. Saat hendak turun dari mobil, saya menaruh uang itu di dekat persneleng.