Notification

×

Iklan

Iklan

Open House, Tradisi Pejabat Daerah Yang Gunakan Uang Rakyat ?

5 Jan 2020 | 22:49 WIB Last Updated 2020-01-05T15:55:38Z
Oleh: Fernando Sitanggang,SH.,MH

GREENBERITA.com- Secara harfiah, Open House berrarti Rumah Terbuka. Namun, menurut saya, saat ini Open House dapat diartikan adalah sebuah acara atau kegiatan yang diadakan para pejabat sebuah lembaga negara atau seorang tokoh pada saat hari raya untuk menerima dan menyampaikan ucapan selamat hari raya kepada masyarakat umum secara langsung.

Saat ini kegiatan Open House telah menjadi kegiatan yang khas Indonesia. Istilah open house, dalam penelusuran google ditemukan 188.000.000 hasil. Ditambahkan kata Lebaran ditemukan 927.000 dalam 0.11 detik, ditambahkan kata Natal ditemukan 2.050.000 hasil dalam 0.10 detik. Saat kita tambahkan kata pejabat, menjadi open house pejabat, google dalam waktu 0.14 detik ditemukan 593.000 hasil. Dengan catatan bahwa penambahan kata pejabat, pengusaha, lebaran, dan natal untuk mengurangi penggunaan istilah itu dalam bahasa Inggris. (kompasiana.com)

Budaya Open house menguat saat masa Orde Baru berkuasa. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang feodal—mirip raja-raja Jawa—itu mampu melakukan penaklukan kolektif atas publik sehingga ia jadi figur sentral yang otoriter dan menakutkan. 

Kewibawaan (bisa jadi semu) pun terbangun. Celakanya, kini tradisi open house masih dijalankan, bahkan makin menguat sebagai jalan feodalisasi tokoh dan kekuasaan. 
Karena feodalisme ternyata nikmat, termasuk bagi penyelenggara negara pasca-Orde Baru bahkan diduga sampai masa reformasi saat ini. 

Kepentingan lainnya adalah mendapat berbagai privilese. Pola relasi yang terjadi adalah patron-klien. Patron dianggap berhak jadi sumber kehendak, misalnya memimpin dengan orientasi privat untuk soal-soal yang bersifat publik. Masyarakat seolah jadi miliknya, ditaruh di saku celana untuk digerogoti demi kepentingan sendiri. 

Jika Soeharto membangun kewibawaan dengan mengembang-biakkan ketakutan kolektif, para pejabat negara sekarang menggunakan kekayaan dan pencitraan (popularitas) melalui kegiatan open house itu sendiri sehingga kewibawaan mereka sama-sama semu.

Terkait pendanaan, sebuah kegiatan Open House khususnya para pejabat daerah seperti Gubernur, Bupati dan Walikota, biasanya dianggarkan pada pos APBD yang notabene adalah berasal dari uang rakyat. 
Kegiatan Open House para pejabat daerah yang tidak memakai anggaran daerah bisa jadi juga ada, dan itu adalah hal yang luar biasa.

Sebenarnya, jauh lebih baik bila dana Open House itu dilakukan para pejabat dengan cara mengunjungi rakyatnya secara blusukan dan memberikan salam hari raya apapun itu sebagai cara untuk menyampaikan permintaan maaf kepada rakyatnya terkait pola kebijakan maupun perkataan yang kurang baik selama pemerintahannya.

Karena, tradisi Open House yang selama ini dilakukan oleh para pejabat daerah dirasa kurang tepat, karena biasanya yang datang pada acara Open House itu adalah justru para penyelenggara negara dan pejabat publik itu juga yang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama sebagai pelaksana kebijakan mereka sendiri.

Artinya, rakyat sebagai objek kebijakan para penyelenggara negaralah yang seharusnya yang utama untuk dimintai maaf oleh para pejabat karena sebagai manusia diyakini tidak ada kesempurnaan dalam setiap kebijakan yang mereka lakukan.

Bahkan uang rakyat yang digunakan untuk Open House itu selayaknyalah digunakan untuk rakyat juga sehingga mereka benar-benar bersukacita.

Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo telah melakukan hal ini dengan cara memilih blusukan untuk meminta maaf kepada publik dari pada bikin open house di rumahnya. 

Apakah ini Pencitraan atau bukan, itu persoalan yanh berbeda, namun pilihan ini sangat menarik hati rakyat. Dengan memilih jalan ini, Gubernur DKI Jakarta itu telah memafhumkan kepada publik: pejabat pemerintahlah yang banyak bersalah, maka sepantasnya mohon maaf kepada masyarakat.

Bila pun Open House tetap menjadi sebuah tradisi yang harus dilakukan para pejabat dengan menggunakan uang rakyat, selayaknyalah penikmat yang hadir adalah rakyat yang bukan bagian dari penyelenggara negara serta pejabat publik terkait tersebut.

Biarlah rakyat diundang secara merata dan terorganisir untuk merasakan nikmatnya sebuah tradisi open house para pejabat yang sering menghidangkan makanan enak nan lezat yang susah didapatkan rakyat biasa. 

Acara ini juga dapat sebagai ajang untuk mendengarkan permintaan maaf dari pemimpinnya yang selama kampanye sebelum menjadi pejabat sering mengaku adalah pelayan rakyat. ***

(penulis adalah seorang jurnalis pemula dan aktifis Jaringan Demokrasi Indonesia-JaDI Sumut)