Notification

×

Iklan

Iklan

Esok, STKS Gelar Diskusi Pentingnya Perda Perlindungan Petani di Samosir

28 Sep 2022 | 09:32 WIB Last Updated 2022-09-28T02:32:50Z
Para petani Kawasan Danau Toba yang terus memperjuangkan hak dan perlindungan hak adat

GREENBERITA.com- Tahun ini merupakan tahun ke enam puluh dua tahun sejak disahkannya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sering dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria pada 24 September 1960. 

Undang-Undang ini dianggap memiliki semangat untuk melaksanakan land reform guna menata ulang struktur agrarian yang timpang menjadi lebih adil. 

Berselang 3 (tiga) tahun kemudian, melalui Kepres No. 169 Tahun 1963, Presiden Sukarno menetapkan tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional yang setiap tahunnya dirayakan oleh organisasi petani di Indonesia dengan berbagai jenis kegiatan, termasuk Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS) yang merupakan kelanjutan dari organisasi Forum Petani Samosir Sekitarnya (Fortase) yang didirikan pada 18 April 2007. 

Bertepatan dengan momentum hari tani nasional, 24 September 2007, petani yang berada di Kabupaten Samosir menyatakan tekadnya untuk berjuang dan meningkatkan peran petani disemua bidang secara terorganisir dalam Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS) yang bercita-cita untuk 'Mewujudkan Petani Mandiri, Sejahtera dan Berdaulat'. 

Dengan usianya yang mencapai 15 tahun, STKS sudah banyak menginisiasi perjuangan kebijakan atas pemenuhan hak-hak ekosob sipol petani di Kabupaten Samosir dan masih tetap konsisten hingga saat ini. 

Terkait hal tersebut serta bertepatan dengan momentum perayaan Hari Tani Nasional, Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS) akan mengadakan dialog public tentang “Pentingnya Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani di Kabupaten Samosir”. 

Hal tersebut dibenarkan oleh Ketua STKS Samosir, Esbon Siringoringo melalui rilis yang diterima greenberita pada Rabu, 28 September 2022.

"Benar, kami para petani Samosir yang tergabung dalam STKS akan mengadakan diskusi Dialog Publik pada Kamis, 29 September 2022 : 10.00 Wib di Aula AE. Manihuruk Panguuran," tegas Esbon Siringoringo. 

Dikatakannya, rangkaian kegiatan ini diharapkan menjadi wadah untuk mendiskusikan bersama akar masalah dari berbagai persoalan-persoalan petani diatas dan untuk melihat pembangunan dari berbagai perspektif dengan menempatkan petani dan masyarakat adat sebagai pemangku kepentingan paling utama yang wajib dihormati, dilindungi dan dibela hak-haknya dan kepentingannya dari berbagai bentuk ketidakadilan. 

"Tujuan dari diskusi ini untuk meningkatkan pemahaman peserta akan pentingnya arti dan fungsi tanah bagi petani dan masyarakat adat serta eningkatkan kesadaran peserta akan pentingnya perlindungan dan pemberdayaan petani" ujar Esbon Siringoringo.

Pihak nya juga mengaku ingin memberi masukan kepada berbagai pihak, khususnya para pemangku kepentingan/pengambil kebijakan atas pentingnya perlindungan dan pemberdayaan petani untuk mendukung pencapaian tujuan dari pembangunan berkelanjutan (SDGs).

"Memberi masukan atas kebijakan/program pembangunan agar sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki masyarakat local, berorientasi pada kesejahteraan rakyat, adanya penghormatan terhadap hak-hak petani dan adanya perlindungan/pelestarian terhadap lingkungan," tegas Esbon Siringoringo.

Dijelaskannya, diskusi publik ini akan dihadiri seluruh Kelompok Tani dampingan KSPPM Serikat Tani Kabupaten Samosir, Komunitas Masyarakat Adat Gereja Pers dengan narasumber Bupati Samosir Vandiko Timotius Gultom, ST serta Ketua DPRD Samosir, Direktur KSPPM Delima Silalahi dan Dr Janpatar Simamora. 

Sementara itu, Staf KSPPM (Kelompok Study Pengembangan Prakarsa Masyarakat) di Samosir Sandres Siahaan mengatakan bahwa bertani bukan hanya sekedar urusan individu/keluarga petani dengan kegiatan rutininasnya seperti menyemai, menanam, memupuk dan memanen. 

"Sesungguhnya, penghidupan petani tidak terlepas dari konteks ekonomi politik di tingkat lokal, nasional dan bahkan internasional. Kenyataan bahwa banyak problem petani yang tidak bisa diselesaikan sendirian oleh petani adalah bukti bahwa problem tersebut datangnya bukan dari pola perilaku petani itu sendiri melainkan berasal dari alpanya negara dalam memenuhi tanggung jawabnya," ujar Sandres Siahaan. 

Petani secara umum selalu dihadapkan dengan masalah kepemilikan lahan, pasar, mahalnya harga input pertanian (saprodi), infrastruktur, ancaman perubahan iklim, gagal panen akibat bencana alam, keterbatasan kapasitas SDM dan modal. 

"Hampir semua masalah itu tidak berasal dari petani itu sendiri, tetapi, berkaitan erat dengan kebijakan negara. Kebijakan pemerintah juga tidak menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Petani kerap sekali hanya dijadikan sebagai objek pembangunan," tambahnya. 

Berbagai perubahan kebijakan terkait pertanian memposisikan petani dalam posisi rentan dan cenderung menjadi korban. Disatu sisi, petani dan pertanian, masih menjadi sektor utama penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

"Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, sebesar 40,83% dari total angkatan kerja Indonesia bekerja dalam sektor pertanian. Namun demikian, BPS juga mencatat bahwa jumlah rumah tangga yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian berkurang sebesar 5 juta rumah tangga selama 10 tahun (sejak tahun 2003) dan menyisakan hanya sekitar 26, 13 juta rumah tangga yang masih hidup dari sektor pertanian (Sensus Pertanian, 2013)," jelas Sandres. 

Penurunan angka ini mengindikasikan bahwa 26, 13 juta rumah tangga tersebut kemungkinan besar meninggalkan pertanian mereka karena tidak adanya jaminan kesejahteraan, bukan hanya karena adanya perubahan minat dari anak-anak muda. 

KSPPM menduga, akibat dari masalah tersebut meledaklah urbanisasi karena petani gurem dan buruh tani tuna wisma meninggalkan desanya, tertarik oleh bujukan bahwa sektor non pertanian di kota akan memberikan pendapatan lebih tinggi, terutama pada masa awal industrialisasi, sedangkan industrialisasi itu menuntut berbagai persyaratan obyektif. Daya tampung industri akhirnya tidak mampu menyerap semua pendatang dari desa. 

Muncullah gubuk-gubuk jorok ditengah kota dan tumbuh subur apa yang dikenal dengan istilah “sektor informal”─ pedagang kaki lima dan sebagainya (Gunawan Wiradi, 2009). 

"Suburnya sektor informal merupakan transisi ke arah pengangguran, suatu tahap dari proses pemiskinan (Breman, 1980). Bisa dikatakan bahwa berbagai problem di pedesaan yang diakibatkan oleh tidak adanya jaminan kesejahteraan terhadap petani berimplikasi terhadap masalah yang lebih besar bagi negara ini.  Berbagai permasalahan tersebut menjadi bukti bahwa negara masih saja belum hadir untuk melakukan tugasnya dalam memenuhi dan melindungi hak-hak petani," pungkas Sandres Siahaan. 

(Gb-ferndt01)