Notification

×

Iklan

Iklan

Apakah Sulit Mengurus Organisasi Gereja (HKBP)?

10 Jul 2022 | 19:55 WIB Last Updated 2022-07-10T13:08:38Z

Oleh: Suhunan Situmorang


GREENBERITA.com- Saya bukan seorang praktisi manajemen, namun dari referensi dan mendengar penuturan pakar-pakar manajemen, membuat saya tak awam tentang manajemen. 


Intinya, apapun bisa dipelajari bila mau dan tidak harus jadi ahli atau mau dapat gelar akademis. 


Secara sederhana, inti manajemen ialah menata, mengelola, mengurus, berdasarkan prinsip-prinsip rasional. Maka, perlu dibuat sistem dan aturan, termasuk kewenangan, hak dan kewajiban, pengelolaan masalah atau konflik, berikut sanksi bagi pelanggar aturan.


Manajemen diperlukan insan modern untuk mencapai tujuan yang dianggap baik dan perlu, mulai dari pengurusan negara, lembaga swasta, perusahaan, lembaga nirlaba hingga organisasi agama. Bila tidak bagus manajemen suatu institusi (apapun), yang terjadi ialah ketidakteraturan, kekacauan, yang menimbulkan masalah atau persoalan. 


Manajemen di berbagai bidang perlu diperbaiki, terus-menerus, demi mencapai hasil atau tujuan yang maksimal dan ukuran maksimal itu pun tidak pernah selesai karena dinamika kehidupan. 


*


HKBP adalah institusi keagamaan (Kristen Protestan) berciri suatu suku (Batak) yang terbilang besar. Usianya tergolong tua, lebih 100 tahun. Lembaga ini memiliki aturan dan peraturan untuk internal yang berkali diperbaiki melalui rapat (sinode) para pendeta dan pengurus gereja (non pendeta). 


Hampir semua aspek diatur, layaknya organisasi modern. Ada kantor pusat (di Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara), ada distrik (daerah), juga di bawahnya, resort dan "pagaran" suatu resort. Pendeknya, aturan HKBP cukup jelas dan ada acuan. 


Sekadar tambahan, setiap gereja HKBP (di luar gereja awal) didirikan oleh jemaat atau umat. Jemaatlah yang berinisiatif, termasuk mencari tempat dan menyediakan sarana beribadah (baca: membeli lahan, mengurus izin, membangun gedung gereja, menyiapkan keperluan gereja) dan menggaji pendeta maupun aktivis non-pendeta. 


Selain self funding atau membiayai sendiri, setiap gereja pun diwajibkan mengirim dana ke kantor pusat--meski tidak semua gereja mampu melakukan karena keadaan atau ketidakmampuan jemaat. 


Tetapi, sekali kantor pusat memberi persetujuan atas pendirian suatu HKBP (meski bangunan masih darurat), lahan dan bangunan gereja otomatis menjadi "milik" kantor pusat HKBP kendati, misalnya, tak serupiah pun pernah masuk kontribusi kantor pusat.


Penugasan seorang pendeta di suatu gereja HKBP, di sisi lain, sepenuh menjadi otoritas kantor pusat. Tetapi, jemaat masing-masing gerejalah yang memenuhi kebutuhan pendeta dan non pendeta (diakonis). Dengan kata lain, kantor pusatlah yang berwenang menempatkan dan memindahkan seorang pendeta, bukan jemaat. 


*


Dari sinilah sering muncul masalah yang menimbulkan konflik internal dan kerap menjadi perhatian publik (tidak hanya jemaat). 


Dalam perkembangannya, HKBP pun acap gaduh, sementara pemicu masalah, sayangnya, tidak diketahui khalayak apa sesungguhnya. Persepsi negatif atau image buruk pun sering menempel di wajah HKBP: 'gereja tukang berantam!' 


Banyak kasus menyebar ke publik karena laporan media massa (apalagi di era portal berita online yang siapa saja bisa mendirikan kendati pengelola dan wartawannya belum memiliki kartu pekerja pers). 


Image gereja sering berkonflik itu, entah kenapa, belum bisa dihapus sampai sekarang. 


Secara personal, saya berkali menyampaikan pujian ke HKBP terutama karena sistem dan aturan yang tidak memungkinkan pendeta memperkaya diri sebagaimana di gereja lain (umumnya bukan anggota PGI). Keuangan setiap gereja HKBP memang tidak menjadi kewenangan pendetanya, melainkan dikelola 'parhalado' (majelis gereja) dan wajib dilaporkan penerimaan dan pengeluaran ke jemaat (setiap Minggu, dan lebih lengkap, setiap akhir tahun). 


Itu salah satu kelebihan gereja ini dan yang seorganisasi di PGI. Karena sistem dan aturan, tidak mudah bagi pendeta memanfaatkan dana gereja untuk kepentingan pribadi, maka boro-boro memperkaya diri. 


Konflik lebih sering dipicu pro dan kontra atas diri seorang pendeta, yang selalu menciptakan dua kubu. Yang mengherankan, sampai sekarang, kantor pusat HKBP seolah belum mampu membuat suatu formula atau mekanisme pencegahan konflik, padahal telah amat paham karakteristik jemaat umumnya. 


Sering malah persoalan di suatu unit HKBP terkesan dibiarkan dan bahkan sampai menimbulkan pertikaian antara yang pro dan kontra ke seorang pendeta, sampai mengarah atau menjadi kasus hukum pidana! 


Aparat polisi pun kerap dilibatkan atau terpaksa turun; sering terjadi penahanan ke jemaat yang dituduh pengacau, dan melibatkan aparat pemerintah lokal. Kantor pusat dan distrik HKBP, seolah tak berfungsi! 


Konflik internal di suatu gereja HKBP, seolah pula telah menjadi preseden buruk. Jemaat, sering jadi pihak yang paling dirugikan. (Yang mendirikan dan membiayai gereja!). 


Kasus terkini, yang terjadi di HKBP Pabrik Tenun, Medan. Pers lokal terus memberitakan dan saya hanya bisa menyimak disertai perasaan malu--selain sedih. 


Apakah begitu sulit mengurus organisasi gereja? Apakah tidak cukup pelajaran dari kasus-kasus sebelumnya? Apakah tak ada lagi perasaan malu ke khalayak ramai?


Sebagai jemaat HKBP turun-temurun, saya memang hanya bisa prihatin selain menahan rasa malu. Pendapat kritis, sering pula tak bisa dimaknai sebagai kontribusi untuk perbaikan manajemen atau pengelolaan gereja. 


Di gereja yang amat saya cintai ini, seakan kontribusi berupa uang gede dan sumbangan materilah yang paling perlu. Jelas, jemaat seperti saya, tak mampu.*


(Penulis adalah seorang jemaat HKBP dan bekerja sebagai Legal Consel di Jakarta)