Notification

×

Iklan

Iklan

Hospitality dan Kolaborasi Jadi Kunci Suksesnya Destinasi Wisata Danau Toba

22 Feb 2021 | 19:05 WIB Last Updated 2021-02-22T14:47:10Z

Pantai Pasir Putih

 Oleh Sebastian Hutabarat ,GREENBERITA.com - Dua kata ini menjadi topik pembicaraan kami dengan teman teman pegiat Pariwisata di Bakara, usai kami menikmati thubing di Aek Silang Bakara yang bermuara ke Danau Toba.



Dua kata kunci yang kami temukan selama 10 bulan berselancar diatas badai korona yang kemudian menuntun kami menikmati Pulau Bali,  Pulau Jawa hingga menyusuri Sumatera dan tiba di Balige, Des 2020 yang kemudian berlanjut dengan beasiswa sebulan di Lapas Pangururan Samosir.


Mengapa wisata Toba belum ramai? Kita semua akan punya analisa dan alasan yang beragam, dan saya tidak sedang ingin memperdebatkannya.


Saya hanya ingin berbagi cerita perihal perjalanan kami kemarin yang membuat saya sangat yakin akan masa depan Toba yang lebih baik, setidaknya bagi rekan rekan yang mau menjadikan dua kata kunci diatas sebagai lifestyle baru.


Cerita ini mungkin agak panjang, semoga tidak membosankan.


Begini ceritanya.

Istri terkasih Imelda Nada Marchia  mengajak kami makan mie gomak Mak Ober di jalan menuju Pantai Bulbul, yang sangat ngetop dan cepat habis itu.


Imelda usai makan mie, kemudian mengajak saya ke Porsea, ingin melihat dermaga yang lewat media kami dengar dirancang arsitek kenamaan Yori Antar.


Benar lokasi nya disini, kata petugas yang kami temui di pos sekuriti dan juga akan dijadikan dak kapal.


Di pelabuhan itu ada dua kapal cukup besar dari besi seperti kapal Fery, yang rencananya akan difungsikan membawa penompang dari Parapat ke Samosir.


Saya percaya, karena beberapa kapal Fery dan Dermaga sudah selesai dan pembangunannya masih terus dikebut.


Sejak Toba katanya ikut merdeka menjadi bagian dari Republik Indonesia belum pernah saya tau ada pembanginan segencar sekarang ini.


Dari dermaga ini,kami mampir di Pantai Pasir Putih Porsea yang bersebelahan dengan Dermaga kapal.


Imelda terkagum-kagum dengan kebersihan Pantai ini.


Sekitar 3 tahun lalu, tempat ini masih sangat sepi. 


Di tempat ini saya berkenalan dengan Pak Napitupulu, seorang Polisi bertugas di Polres Toba, Porsea.


Perjuangannya luar biasa konsisten membersihkan pantai itu. Berkali kali kami bertemu.


Pernah juga ia menawari kami buka toko kaos dan souvernir di lahan mereka yang cukup luas.


Kemarin ada rasa haru dan bangga melihat kebersihan pantai itu dan pelayanan mereka yang baik dan ramah.


Pantai itu salah satu pantai terbaik, terlandai dan terbersih yang saya tau di kawasan Danau Toba.


Seperempat jam kami jalan di pasir putih sambil berjemur. 


Jam menunjukkan angka 10. Kami pun pamit pulang.


Ingin melanjutkan perjalanan ke Muara. Tergoda dengan foto Dermaga Muara yang beberapa hari sebelumnya di upload Bang Edward Tigor Siahaan . Dermaga itu, katanya juga dirancang Mas Yori.

Bastian Hutabarat dan teman teman pegiat Pariwisata di Bakara
Di Pizza Andaliman kami sempatkan ngobrol dengan Bang Wilmar Eliaser Simandjorang  yang sedang berjanji untuk bertemu dengan Ibu Rektor IAKN Tarutung.


Sejam lebih kami berdiskusi dengan Bang Wilmar. Bang Wilmar tau betul apa yang menjadi masalah utama Danau Toba dan apa saja solusinya.


Jam 12 lebih baru kami berangkat dari Balige.

Sambil Imelda nyetir, saya kontak dengan Lae Nelson Lumbantoruan yang dulu saya kenal baik di Dinas Pariwisata Humbang Hasundutan. Lae Nelson sedikit dari orang Pemerintahan yang saya kenal yang punya etos kerja yang tinggi. Kami bersahabat baik.


Saya sekarang sudah di BPODT (Otorita Danau Toba) kata Lae Nelson lewat WA. Saya lalu menceritakan rencana kami ke Muara dan kemungkin untuk bisa menikmati arung jeram atau tubing (naik ban di sungai).


Lae Nelson kasih saran, rute menarik yang perlu kami jalani.


Sipinsur - Panoguan Solu - Bakara - Tipang.


Jalur itu sangat menarik, dan mohon jika berkenan, saran dan masukan dari Lae, termasuk perihal sampah dan kebersihannya. 


Sewaktu saya di Dinas Pariwisata saya ikut memperjuangkan honor petugas kebersihan 1.800.000 per orang. Kelayakan upah mereka sangat menentukan hasil kinerja mereka,kata Lae Nelson lewat WA.


Jalan dari Sipinsur menuju Bakara membuat kami tercengang. Super mulus, dan dengan pemandangan yang aduhai.


Di Bakkara,, tanpa janjian, kami bertemu dengan Itoku yang baik hati Lala Banjarnahor .


Ito ini sering mampir di Pizza Andaliman atau bertelepon menanyakan kabar atau sharing soal usaha keluarga mereka.


Di tempat Ito ini jugalah kemudian kami bertemu dengan Lae Swandi Lumbangaol.


Karena waktu sudah sore kami setuju bahwa diskusi bisa dilanjutkan sambil kami naik Tubing. 


Imelda sebelumnya melihat foto foto Charly Silaban  yang membawa seluruh karyawan mereka dari JNE menikmati wisata sederhana dan menarik ini.


Marbinnen (naik ban dalam mobil) begitu istilah kami ketika masih anak anak.


Harap maklum,beginilah dulu keadaannya kata Lae Swandi.


Swandi satu setengah tahun  lalu meninggalkan pekerjaannya di Medan untuk mencoba ikut ambil bagian dalam memajukan wisata di kampungnya Bakara.


Swandi ngontrak rumah kayu sederhana persis di pinggir Danau. Kadang kalau ada tamu,satu kamar ini kita jadikan juga homestay, dan jika rame rame kawan kawan gelar tikar di sini kata Swandi menunjukkan ruang tamunya.


Bersama kami lalu menaikkan ban dalam mobil , jaket pelampung dan alat pendayung.


Untuk arung jeram, enak pada saat hujan,airnya besar kata Dedi Sihombing, operator Arung Jeram di Bakara yang sudah ikut bergabung di FAJI.

Arung jeram di Bakara
Dari kediaman Lae Swandi, 5 menit  berkenderaan kamipun tiba di parkiran tempat memulai tubing.


3 ban di ikat bersama, saya duduk paling depan, Imelda di tengah dan Lala paling belakang. Lae Swandi jadi pemandu,merangkap bodyguard, menarik ban manakala bertemu batang pohon hanyut,atau kawat beronjong di tepian sungai.


Namanya Fun Tubing, rute pendek,sekitar 3 km kata Swandi tentang paket tour yang sedang kami nikmati.


Coba lihat Pa, kata Imelda menunjukkan deretan pegunungan  dan aneka pemandangan indah sepanjang kami menikmati tubing.


Sesekali saya turun dari ban untuk menikmati body rafting yang dulu disarankan Bang Heben Ezer  untuk kami nikmati di Batu Karas Pangandaran. 


Bro Seng Tarakanalada  dkk pegiat wisata di sana mengeksekusinya dengan sangat baik.


Air sungai Aek Silang yang bermuara ke Danau Toba memang tidak sejernih Grand Canyon di Pangandaran. 


Tapi upaya teman teman di Bakara untuk memulai jenis wisata ini perlu kita apresiasi.


Ada beberapa catatan dan saran yang kemudian menjadi topik diskusi kami sambil menikmati ikan mujahir panggang dan goreng made in Ito Heni Banjarnahor di rumah makan mereka yang indah persis di tepi Danau, tak jauh dari kediaman Lae Swandi.


Solotan nama Rumah Makannya, berada di tikungan manis menuju Tipang.


Dulu ini kolam ikan, tapi Bapak buat jadi restoran kata Heni perihal tempat mereka.


Berapa harus kami bayar untuk tarif tubing ini?


Oh kalau ini belum bisa dibilang paket pariwisata Lae kata Jerry Lumbangaol, pegiat wisata dan motivator serba bisa. Kalau hanya ajak main begitu, tarifnya kita buat 30.000 per orang.


Ada 4 macam jenis paket yang kita rencanakan. Salah satunya termasuk makan mujahir panggang segar di RM Solotan.


Diskusi kami kian menarik, terutama setelah Lae Jerry menceritakan rencana mereka mendirikan Koperasi Pariwisata Humbang. Kami singkat namanya KoPi HuTa  (Koperasi Pariwisata HUmbahas TobA).


Jam sudah hampir menunjukkan jam 20, dan perjalanan menuju Balige lewat Dolok Sanggul masih akan makan waktu hampir dua jam.


Pertemuan berikut kami rencanakan di  Balige, sekalian rencana membawa teman teman dari Pizza Andaliman menikmati tubing di Bakara.


Salah satu keindahan hidup menurut saya adalah ketika kehadiran kita bisa berdampak, bukan hanya 'tampak'. 


Dan salah satu hubungan terbaik menurut saya ketika kita bisa beremphaty, lalu ikut jadi bagian dari usaha teman teman. Ikut menikmati paket wisata yang mereka mulai seraya memikirkan bersama langkah langkah yang bisa kita lakukan untuk membuat keadaan lebih baik.


Sepanjang jalan menuju Balige, saya  masih terus berdiskusi dengan Imelda.


Terharu dengan cerita Lae Swandi yang hampir frustasi


Dulu saya di Medan masih bisa dapat gaji.


Di sini kadang berbulan bulan gak ada tamu padahal anak anak di rumah perlu makan.


Saya lalu berbagi cerita bagaimana dulu tahun 1995 pulang dari Bandung.


Ayah saya pengusaha, saya sarjana dari Sipil Unpar, tapi hampir sepuluh tahun saya babak belur membuat ini dan itu.


Lahirnya usaha kami TOBA Art dan Pizza Andaliman dan rencana melaunching Homestay The BOAT Balige Sanctuary, tidak muncul begitu saja. Semua lahir dari proses yang cukup panjang.


Hospitality yang paling keren menurut saya ketika Ito Lala, Lae Swandi, Lae Jerry, Lae Sudung, Ito Heni Lae Immanuel Situmorang,  bahkan meninggalkan pekerjaan dan aktifitas mereka agar bisa membantu kami, menjadi wisatawan dadakan yang semoga bisa menjadi sahabat baru. 


Kami tidak harus ikut buka restoran atau usaha wisata lainnya di Bakara. Cukuplah kita bersahabat, berkolaborasi, atau jika mungkin ikut berkoperasi bersama Lae Jerry dkk.


Urusan besar besar sudah ditangani Pak Jokowi, Pak Luhut Panjaitan, Pak Sandiaga Uno dan semua team nya.

Kita gak harus mengambil peran yang tumpang tindih,atau terus berdebat yang tiada habis.

Semoga kita,di hidup yang singkat ini bisa berkolaborasi lebih banyak untuk bisa lebih berdampak bagi orang orang di sekitar kita.


Terima kasih sudah rela meluangkan waktu membaca tulisan panjang ini.

Selamat pagi,selamat berdampak,  di tutup olehSebastian Hutabarat  di Balige Senin 22 Feb 2021.

(gb-rizal/rel)